Rabu, 03 Juli 2013

Daftar Negara yang Nasionalisasi Perusahaan Minyak Asing

Daftar Negara yang Nasionalisasi Perusahaan Minyak Asing


Inilah daftar negara yang menasionalisasi perusahaan minyak asing (Perusahaan AS, Inggris, Uni Soviet, dsb). Iran menasionalisasi perusahaan minyaknya lewat tekanan ulama dan rakyatnya. Arab Saudi menasionalisasi perusahaan minyak AS Aramco di tahun 1974 lewat Raja Faisal. Raja Faisal berhasil mengubah negara Arab Saudi yang di tahun 1970-an miskin, menjadi negara yang sangat makmur sekarang ini. Karena sejak dinasionalisasi, pendapatan minyak meningkat drastis sehingga bisa mendanai pembangunan secara masif.
Hugo Chavez berhasil menasionalisasi perusahaan migas di Venezuela. Meski Exxon menuntut US$ 12 Milyar atas asetnya, namun Lembaga Arbitrase Internasional memutuskan hanya US$ 907 juta yang harus dibayar. Artinya dengan produksi minyak Venezuela sekitar 3 juta bph, dengan harga minyak US$ 100/brl, aset Exxon itu sudah lunas dibayar dengan produksi minyak 10 hari saja.   Evo Morales juga berhasil menasionalisasi perusahaan minyak di Bolivia.
Ada pun Norwegia, meski merupakan negara Liberal, tetap mengelola migas mereka melalui BUMN mereka sehingga 100% hasil migas dinikmati rakyat mereka. Bukan oleh segelintir pengusaha asing/swasta. Tak heran meski baru menemukan minyak di tahun 1970-an, mereka jauh lebih makmur ketimbang Indonesia yang sudah 100 tahun minyaknya dikeruk. Ini karena Norwegia mengeruk minyaknya sendiri. Sedang Indonesia, yang mengeruk 90% adalah perusahaan2 asing seperti Chevron, Exxon Mobil, Conoco, dsb.
Dalam ayat 3 Bab XIV Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, jelas dinyatakan bahwa segala hal seperti, air, tanah, hasil Bumi Indonesia dikuasai oleh Negara untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Dari situ kita tahu bahwa seharusnya kekayaan alam Indonesia seperti minyak, gas, emas, perak, tembaga, batubara, dsb dikelola oleh negara melalui BUMN sehingga bisa dinikmati oleh rakyat banyak. Bukan justru dinikmati oleh perusahaan2 asing dan segelintir kompradornya.
Tentu saja Nasionalisasi akan membawa resiko. Raja Faisal setelah menasionalisasi perusahaan AS Aramco di tahun 1974, tahun 1975 ditembak mati oleh keponakannya sendiri. Sementara Hugo Chavez dan Evo Morales jadi musuh Amerika Serikat. Berulangkali Hugo Chavez mengalami percobaan pembunuhan.
Ada pun Iran, mengalami berbagai embargo dari pembekuan aset, embargo minyak, bahkan ancaman perang terbuka oleh AS dan sekutunya. Ayatullah Kashani yang memimpin rakyat untuk menasionalisasi perusahaan minyak asing diasingkan ke Lebanon.
Iraq bahkan diserang dan dibunuh presidennya (Saddam Hussein). Jadi Nasionalisasi penuh resiko yang berat. Namun pejuang kita dulu punya semboyan “Merdeka atau Mati!”. Dari pada hidup hina terjajah, lebih baik merdeka atau mati.
Beberapa negara yang telah melakukan Nasionalisasi adalah Iran, Mesir, Arab Saudi, Cili, Venezuela, Bolivia, Norwegia, dsb.

Sejarah Nasionalisasi Minyak Iran

Akhir abad 19, bersamaan dengan gerakan Revolusi Konstitusi di Iran, munculnya gerakan nasionalisasi industri minyak Iran membuat negara-negara imperialis semakin tamak untuk mencampuri urusan dalam negeri Iran. Sejak ditemukannya minyak, dua negara besar kala itu yaitu Inggris dan Rusia, lebih dahulu terjun ke kancah ini dan kedua negara mulai mencampuri urusan dalam negeri Iran. Masing-masing pihak berusaha untuk meraih bagian lebih besar dari sumber alam Iran. Akan tetapi, Britania lebih dahulu memahami pentingnya industri minyak dibanding negara-negara rivalnya dan dengan cepat memantapkan pijakan imperialisnya di Iran.
Sebelum meletusnya Perang Dunia I, bagi para pejabat Iran dan negara-negara lain, industri minyak masih sangat asing dan oleh karena itu mereka tidak menunjukkan sensitivitas dalam memberi konsesi kepada negara lain di sektor ini. Perang Dunia I menyingkap pentingnya industri minyak yang dinilai sebagai motor penggerak pasukan perang yang membawa kemenangan bagi pasukan sekutu. Baru setelah Perang Dunia I, para pejabat Iran dan negara lain membuka mata dan menyadari pentingnya industri minyak.
Konsesi D’Arcy
Sejarah perjanjian minyak Iran dimulai dengan konsesi yang diberikan oleh Shah Naseruddin Shah pada tahun 1872 untuk Baron Julius de Reuter, seorang warga Inggris asal Jerman. Konsesi yang mencakup seluruh wilayah Persia itu, memberikan hak eksklusif dan monopoli kepada Reuter untuk mengeksploitasi sumber daya mineral termasuk batubara, besi, tembaga, timah, dan minyak bumi selama 70 tahun untuk membangun dan mengoperasikan jalan, rel kereta api, jaringan telegraf, kanal air, sistem irigasi, dan layanan bea cukai.
Kontrak Reuter dibatalkan beberapa tahun kemudian akibat tekanan politik kuat dari pemerintah Tsar (Rusia) serta sejumlah tokoh oposisi terkemuka Persia. Namun berkat intervensi Inggris, Shah Naseruddin Shah memberikan konsesi baru kepada Reuter pada tahun 1889, yang kemudian dikenal dengan konsesi Bank-e Shahi (Bank Imperium Persia). Berdasarkan konsesi itu, bank berhak memanfaatkan semua sumber daya mineral di seluruh negeri, kecuali emas, perak, dan logam berharga lainnya. Bank tersebut kemudian menjual hak eksploitasi mineral di Iran itu kepada sebuah perusahaan Inggris Persian Mining Corporation dengan harga 150.000 poundsterling. 10 tahun kemudian, konsesi Persia Mining Corporation itu dibatalkan karena kurang pendanaan.
Rentetan peristiwa itu membuat Persia masuk dalam skema minyak internasional. Langkah pertama diawali oleh Antoine Ketabchi Khan, komisaris jenderal Persia untuk Pameran Paris 1900. Ketabchi Khan, adalah seorang keturunan Armenia yang menjabat beberapa posisi penting dalam pemerintah Persia, termasuk sebagai direktur bea cukai. Meskipun secara lahiriyah Ketabchi Khan hanya bermaksud meninjau Pameran Paris, akan tetapi tujuan utamanya adalah mencari investor dari Eropa yang bersedia mengambil konsesi minyak di Persia. Di Paris, Ketabchi Khan meminta bantuan Sir Henry Drummond Wolff, mantan menteri Inggris di Tehran era 1887-1890, yang menyarankan William Knox D’Arcy untuk merebut konsesi minyak di Persia.
D’Arcy adalah seorang investor Inggris yang sukses di sektor pertambangan emas di Australia dan berhasrat untuk mencoba keberuntungannya di sektor minyak Persia. Pada tanggal 16 April 1901, perwakilan D’Arcy’s tiba di Tehran untuk berunding. Persaingan antara Inggris dan Tsar Rusia kala itu mengubah negeri Persia menjadi faktor determinan dalam diplomasi kekuatan adidaya.
Rusia ingin membuktikan politik dominannya atas Persia dan menyingkirkan negara-negara rival. Adapun bagi menteri Inggris untuk Persia, Sir Arthur Henry Hardinge, tujuan utama pemerintah London adalah melawan aksi-aksi seperti itu. Dan di sinilah D’Arcy dan kontribusinya di sektor minyak dapat membantu. Sebuah konsesi minyak tentu akan membantu menyeimbangkan pengaruh dan kekuatan Inggris di hadapan Rusia. Oleh karena itu, Inggris memberikan penuh atas upaya D’Arcy.
Pemerintah Muzaffaruddin Shah pada tahun 1901 memberikan D’Arcy konsesi minyak di seluruh wilayah Iran kecuali Azerbaijan, Gilan, Mazandaran, Gorgan, dan Khorasan, yang berbatasan dengan Rusia. Konsesi itu berlaku selama 60 tahun. Akan tetapi konsesi tersebut tidak hanya terbatas pada minyak melainkan seluruh tambang mineral Persia.
Kontrak D’Arcy mengantar hubungan bilateral Inggris dan Persia pada satu titik bersejarah, mengingat kepentingan Britania di Persia mencakup kepentingan strategis. Persia berada di jalur penting bagi Inggris untuk mencapai wilayah jajahannya, India. Inggris khawatir jika pengaruh Rusia mendominasi, maka jalur menuju India akan terblokir.
Di sisi lain, imperium Persia menghadapi dua kekuatan adidaya itu dengan politik-politik konservatif dan pasif. Oleh karena itu, konsesi D’Arcy tidak mencakup lima propinsi di wilayah utara yang diserahkan kepada Rusia. Namun, Rusia tidak pernah menggunakan konsesinya.
Fajar Minyak Iran
William Knox D’Arcy, adalah raja minyak Iran yang tidak pernah menginjakkan kakinya ke Iran. D’Arcy tidak memiliki organisasi dan perusahaan, hanya seorang sekretaris menangani menangani korespondensi bisnisnya. Untuk masalah penanganan operasi kerja di lapangan, ia merekrut George Reynolds, lulusan Sekolah Tinggi Teknik Kerajaan India yang memilii pengalaman pengeboran di Sumatra.
Situs pertama yang dipilih untuk eksplorasi berada di Chia Sorkh, sebuah dataran tinggi yang nyaris tidak dapat diakses di pegunungan di Kermanshah, Iran barat, Mamatin, Rohmurz, dan zona minyak di Masjed Soleiman. Di Chia Sorkh tidak ditemukan sumber minyak yang cukup berarti. Di Mamatin juga tidak ditemukan minyak.
Kondisi pengeboran minyak di Masjed Soleiman kondisinya berbeda. Ketika sampai di kedalaman 360 meter, pucuk bor berhasil menembus lapisan penutup sumur minyak dan dengan demikian pada 26 Mei 1902, dimulailah fajar minyak di Iran. Akan tetapi, hal itu terjadi di saat D’Arcy diminta untuk menghentikan operasi eksploitasi minyaknya dan merelokasi seluruh perlengkapan minyaknya ke Khorramshahr untuk direlokasi ke Inggris.
Pasalnya, pada April 1904, nyaris tiga tahun operasinya di Iran, biaya operasional yang tinggi menyeret perusahaan D’Arcy, hingga ke ambang bangkrut. Pemerintah Inggris khawatir bahwa D’Arcy kemungkinan terpaksa kehilangan konsesinya dan menjualnya kepada pihak asing. Akhirnya, pada tahun 1905, empat tahun sejak Shah Iran menandatangani konsesi itu, muncul persaingan antara D’Arcy dan perusahaan Burma Oil di London. Kedua pihak sepakat bekerjasama dengan membentuk sindikat bernama Anglo-Persian Oil Company (APOC). Perusahaan operasional D’Arcy menjadi anak perusahaan, dan D’Arcy sendiri ditunjuk sebagai direktur perusahaan baru tersebut.
Pembentukan sindikat konsesi diikuti dengan pergeseran lokasi eksplorasi ke kawasan barat daya Iran di Meidan-e-Naftan. Anglo-Persian Oil Company (APOC), go public pada tanggal 19 April 1909, dan penawaran saham pada hari itu mengakibatkan cabang Glasgow Bank of Scotland dikerumuni para peminat yang bersemangat untuk berinvestasi. Burmah Oil mengambil mayoritas saham sindikat tersebut dan D’Arcy mendapat saham senilai 895.000 poundsterling sebagai kompensasi biaya eksplorasi.
Sebuah sumber minyak baru telah diamankan di bawah pemerintah Inggris. Namun muncul masalah dalam proses ekstraksi dan penyulingannya. Situs tersebut untuk kilang minyak Abadan. Pada tes pertama tahun 1912, kilang minyak mengalami kerusakan dan kualitas produknya juga rendah. Kembali kelangsungan hidup sindikat Anglo-Persian Oil Company (APOC) terancam. Pada akhir 1912, APOC telah habis modal kerja. Beberapa tahun lalu, perusahaan Burma Oil menjadi penyelamat dan sekarang ia harus mencari juru penyelamat.
Pada Juni 1913 Winston Churchill, Laksamana Agung Angkatan Laut Britania, menyerahkan memorandum kepada kabinet yang isinya suplai minyak untuk armada Angkatan Laut Kerajaan. Kabinet setuju prinsip yang ditawarkan bahwa pemerintah harus meraih saham mayoritas di pihak pemasok bahan bakar terpercaya. Setelah perdebatan panjang di kabinet, diputuskan bahwa pemerintah sendiri akan menjadi pemegang saham Anglo-Persian Oil Company (APOC).
Mulainya Friksi
Setelah pemerintah Inggris menjadi pemegang saham APOC, di lain pihak pemerintah Iran menandatangani kontrak dengan perusahaan lain termasuk Bakhtiari Oil Company, First Exploration Oil Company. Kontrak-kontrak tersebut semakin melemahkan posisi pemerintah pusat Iran dan penentangan dari berbagai etnis dan kelompok nomaden pun semakin meningkat.
Selama Perang Dunia I, meski menyatakan netral, Persia diinvasi oleh tentara Inggris, Rusia, dan Turki. Selain itu, ada pemberontakan suku di selatan dan di utara. Kala itu, kondisi di Iran benar-benar kacau. Situasi carut marut seperti itu, sangat menguntungkan bagi tokoh kuat untuk terjun dan mengisi kekosongan wewenang di ibukota Tehran.
Terdorong oleh kondisi, Reza Khan, seorang perwira militer, merebut kekuasaan pada tahun 1921. Setelah menjabat sebagai menteri pertahanan, ia meningkatkan jabatannya menjadi menjadi perdana menteri pada tahun 1923. Dua tahun kemudian Ahmad Shah digulingkan dan pada tahun 1926 Reza Khan memilih nama Pahlevi sebagai nama dinastinya, dan menobatkan diri sebagai Reza Syah Pahlevi. Di lain pihak, APOC tidak memerlukan waktu lama menyadari bahwa mereka tidak lagi berurusan dengan pemerintahan tradisional yang lemah dari era Qajar, melainkan kini mereka berhadapan dengan sosok otoriter yang kuat.
Di bawah pemerintahan Reza Syah, Iran memulai program modernisasi yang pelaksanaannya pemberdayaannya memerlukan sumber finansial yang sangat besar. Dinasti Pahlevi menolak pinjaman dari luar negeri, karena dinilai akan mengancam independensi nasional. Meski pajak tidak langsung di dalam negeri pada produk-produk harian seperti teh dan gula ditingkatkan untuk mendanai proyek-proyek seperti Kereta Api Trans-Iran, Shah tidak ingin kehilangan pendapatan dengan meningkatkan dari keuntungan yang diterima APOC dan pembayaran pajak.
Pasca Perang Dunia I, muncul friksi antara Iran dan APOC. Sejak tahun 1927, digelar perundingan terperinci untuk menyelesaikan friksi antara Teymourtash, dari dewan menteri Dinasti Pahlevi dan perusahaan Inggris. Akan tetapi kedua pihak gagal mencapai kesepakatan.
Di akhir tahun 1928, Sir John Cadman, Presiden APOC, mengusulkan kepada Teymourtash untuk memperpanjang konsesi D’Arcy guna mendapat dana investasi. Akan tetapi Teymourtash menjawab usulan Codman itu dan mengatakan, “Iran siap untuk merevisi konsesi D’Arcy tapi tidak untuk perpanjangannya.”
Pada 26 November 1932, Reza Shah mendiktekan surat pembatalan konsesi D’Arcy. Surat tersebut dipubliasikan secara resmi keesokan harinya. Meski dalam surat itu disebutkan bahwa pembatalan sepihak itu merupakan satu-satunya cara untuk melindungi hak-hak negara, ditekankan pula bahwa pemerintah Iran pada prinsipnya tidak menolak memberikan konsesi baru.
Menyikapi surat tersebut, pemerintah Inggris menyatakan bahwa Iran tidak berhak membatalkan konsesi secara sepihak. Lima bulan kemudian, pada bulan April 1933, Sir John Cadman pergi ke Tehran mencoba menyelamatkan kondisi dan bertemu dengan Shah. Pertemuan itu menjadi peristiwa monumental karena masing-masing memiliki wewenang tak terbantahkan untuk kesepakatan. Kedua pihak pun meraih terobosan baru. (IRIB Indonesia)
Setelah pendudukan atas Iran oleh Inggris dan Soviet, serta masuknya Amerika Serikat ke kancah Iran pada era Perang Dunia II, persaingan kaum imperialis terhadap sumber minyak di Iran juga semakin meningkat. Menyusul permintaan minyak dari ketiga negara itu, pemerintah Iran menyatakan bahwa segala bentuk konsesi atau kontrak minyak harus ditangguhkan setelah perang. Karena pada masa itu, kondisi perekonomian negara sedang tidak sehat karena perang. Iran secara resmi menolak permintaan minyak ketiga negara.
Penolakan tersebut sangat menyakitkan bagi Uni Soviet yang langsung menghujani pemerintah Iran dengan berbagai kritik. Doktor Mohammad Mosaddeq, mengemukakan pidato panjang di parlemen dan menjawab pertanyaan dari berbagai media massa dalam negeri.
Pasca Perang Dunia II, Inggris dan Uni Soviet, diwajibkan menarik mundur pasukannya dari wilayah Iran dalam kurun waktu enam bulan. Akan tetapi Uni Soviet menolak keluar dari Iran dan bahkan menambah jumlah pasukannya di wilayah utara. Pada masa itu, Ahmad Qavam yang menjabat sebagai Perdana Menteri dengan berbagai kebijakan yang diambil akhirnya mampu memaksa Uni Soviet menarik mundur pasukannya dari utara Iran.
Ditandatangani kesepakatan antara pemerintah Iran dan Duta Besar Uni Soviet di Tehran. Berdasarkan kesepakatan tersebut, pasukan Soviet harus keluar dari wilayah Iran dalam waktu satu setengah bulan dan akan dibentuk sebuah perusahaan kolektif Iran-Soviet, yang proposalnya harus diserahkan kepada parlemen hingga tujuh bulan berikutnya.
Akan tetapi, di tengah meningkatnya nasionalisme Iran, ditetapkan satu pasal hukum pada 22 Oktober 1947 oleh pemerintah Iran guna merevisi konsesi Anglo Iranian Oil Company (AIOC), yang menjadi isu dominan dalam kehidupan politik di Iran selama beberapa tahun ke depan.
Menariknya, pemerintah Inggris tidak tampak kecewa atas penentapan hukum tersebut karena dengan demikian, Uni Soviet kehilangan kesempatan untuk menjamah minyak Iran. Di satu sisi, para pejabat Inggris mulai berunding dengan para pejabat Iran untuk menjaga kepentingan minyak mereka di wilayah selatan Iran. Hasilnya adalah bahwa kedua pihak menyepakati revisi
Akan tetapi kesepakatan tersebut memancing penentangan hebat di dalam negeri termasuk dari kalangan anggota parlemen dan pengamat. Akan tetapi pada akhirnya tanggal 17 Juli 1949, kesepakatan tambahan untuk konsesi 1933 ditandatangani oleh direktur AIOC Neville Gass dan Menteri Keuangan Iran, Abbasqoli Golshaiyan. Kesepakatan tersebut memang memihak pada Iran, akan tetapi pemerintah Inggris mampu mengeruk berbagai konsesi hukum untuk kesepakatan D’Arcy yang juga ditandatangani oleh parlemen. Inggris berhasil memperpanjang kesepakatan tersebut hingga 33 tahun. Selama itu penguasaan minyak Iran oleh pemerintah Inggris akan dijamin pemerintah Tehran.
Berdasarkan pasal keepuluh dalam kesepakatan tersebut memiliki legalitas hukum dan pemerintah Iran tidak dapat dengan mudah membatalkan kesepakatan tersebut. Akan tetapi berbagai dialog dan pembahasan meluas tentang masalah ini telah menyadarkan masyarakat Iran yang akhirnya menyulap upaya memperjuangkan hak bangsa dari bentuk perjuangan diplomatik menjadisebuah gerakan nasional.
Ayatullah Kashani tampil untuk membimbing gerakan perjuangan tersebut. Dia merilis pernyataan keras kepada AIOC dan menuntut pembatalan kontrak. Meluasnya tuntutan pembatalan kontrak tersebut dalam masyarakat sangat buruk bagi AIOC dan rezim Shah. Ayatullah Kashani akhirnya diasingkan ke Lebanon.
Pembentukan Majlis ke-16 dan Terpilihnya PM Razmara
Majlis ke-16 dibentuk pada tanggal 20 Bahman 1328 (9 Februari 1950) dan pemerintahan Saed pada tanggal 27 Esfand tahun yang sama (18 Maret 1950), jatuh setelah tidak mendapat mosi percaya. Ali Mansour ditunjuk sebagai penanggung jawab pembentukan kabinet baru atas permintaan Kedutaan Besar Inggris terhadap Shah. Guna mendapat dukungan sebanyak-banyaknya dari kalangan agamis Mansour mengundang Ayatullah Kashani yang kala itu di pengasingannya di Lebanon untuk kembali pulang.
Akan tetapi kembalinya Ayatullah Kashani bukan hanya tidak menguntungkan Mansour, namun justru meningkatkan demonstrasi rakyat sepekan setibanya di Iran, Ayatullah Kashani melayangkan surat kepada Majlis, yang dibacakan oleh Doktor Mosaddeq. Surat itu dalam rangka mereaksi kesepakatan tambahan dengan AIOC.
Di satu sisi Mansour kehilangan dukungan terkuatnya yaitu dari Inggris, dan di sisi lain menghadapi penentangan hebat dari kubu Ayatullah Kashani. Akhirnya selang lima bulan berkuasa Mansour terpaksa mengundurkan diri, dan Razmara menggantikan posisinya sebagai Perdana Menteri.
Salah satu tugas utama Razmara adalah menetapkan kesepakatan tambahan dengan AIOC yang diajukan oleh Mansour kepada parlemen dan tengah dibahas di komisi energi. Komisi itu harus menganalisa kesepakat tersebut dan menyerahkan hasilnya kepada parlemen.
Setelah melalui pembahasan panjang akhirnya komisi itu merampungkan analisanya pada tanggal 19 Azar 1328 (9 Desember 1949) dan memaparkan penjelasannya kepada Majlis. Komisi tersebut menyatakan penentangannya terhadap kesepakatan dengan AIOC karena dinilai bertentangan dengan kepentingan bangsa Iran.
Pada tanggal 26 Azar 1328 (17 Desember 1949) parlemen menyetujui hasil analisa komisi energi dan dengan demikian kesepakatan dengan AIOC dibatalkan.
Nasionalisasi Minyak
Di sela-sela laporannya, komisi energi menyinggung masalah nasionalisasi minyak. Ketika laporan itu diratifikasi, komisi minyak Iran mengajukan sebuah program yang ditandatangani anggotanya sebanyak 11 orang kepada Majlis. Akan tetapi karena kurang dukungan akhrinya program tersebut gagal dibahas dalam sidang Majlis.
Di sisi lain Razmara berusaha mencari jalan keluar dari kebuntuan yang ditimbulkan oleh komisi minyak tersebut. Dia berusaha mencegah prakarsa nasionalisasi minyak. Pada tanggal 3 Dey 1328 (24 Desember 1949), Razmara hadir dalam sidang tertutup Majlis dan di sana dia menentang keras gagasan nasionalisasi minyak. Di akhir pernyataannya Razmara mengatakan, “Nasionalosasi minyak adalah pengkhianatan terbesar.”
Dua hari berikutnya, menteri keuangan, Gholammohsen Forouhar mendatangi Majlis dan selain menentang nasionalisasi minyak dia juga mengajukan sebuah prakarsa baru
Tanggal 8 Dey, atas imbauan Ayatullah Kashani dan sejumlah partaifront nasional, dan puluhan ribu warga berkumpul di bundaran Baharestan. Di akhir demonstrasi itu dirilis statemen yang menentang kesepakatan dengan AIOC. Pasca berbagai pekanggaran dan berbagai intrik Razmara, para pemimpin gerakan pendukung nasionalisasi minyak berpendapat bahwa kendala utama bagi mereka adalah Razmara. Kala itu gerakan rakyat dipimpin oleh Ayatullah Kashani, berusaha dengan kerjasama front nasional yang dipimpin oleh Doktor Mosaddeq, bersama sejumlah anggota Majlis, dan kelompok Fadaeyan-e Eslam yang dipimpin oleh Shahid Navab Safavi. Fadaeyan-e Eslam dan Safavi memutuskan untuk melakukan sebuah gerakan revolusioner dalam merealisasikan program dengan menyingkirkan kendala utama yaitu Razmara terlebih dahulu.
Dengan tersingkirnya Razmara, maka tidak ada lagi pihak yang menghalangi program nasionalisasi minyak. Oleh karena itu, komisi minyak di Majlis kembali mengajukan program nasionalisasi minyak dan akhirya disetujui. Akan tetapi mengingat sempitnya waktu untuk membahas program tersebut, komisi meminta perpanjangan waktu hingga dua bulan untuk membahas implementasi program tersebut.
Pada tanggal 17 Esfand 1329 (8 Maret 1951), Majlis menyetujui permintaan komisi minyak dan memutuskan dua ketetapan;
1. Komisi minyak dapat memanfaatkan ahli asing dan lokal dan jika oerlu mengundang mereka.
2. Mereka dapat hadir (tinggal) sampai 15 hari pasca pembentukan komisi.
Nasionalisasi minyak Iran disetujui pada tanggal 24 Esfand di Majlis dengan suara mutlak dan resmi ditetapkan pada tanggal 29 Esfand 1329 (20 Maret 1951). Dengan isi ketetapan sebagai berikut;
Bismillahirrahmanirrahim
Atas nama kesejahteraan bangsa Iran dan dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia, kami para penandatangan di bawah ini mengusulkan nasionalisasi minyak Iran di seluruh kawasan tanpa pengecualian, yakni seluruh operasi eksplorasi, penambangan, dan pemanfaatan harus ditangani pemerintah.
Penetapan tersebut menjadi program kerja pemerintah dan seluruh zona minyak Iran berada di bawah kontrol pemerintah. Situasi tersebut membuat para pegawai dan pekerja asing di sektor minyak Iran tidak puas dan akhirnya mereka semua meninggalkan Iran pada 10 Mehr 1330 (2 Oktober 1951). (IRIB Indonesia)
Para anggota parlemen, pejabat, dan tokoh masyarakat Iran, berhasil mengembalikan sektor industri perminyakan ke tangan bangsa ini. Pada hakikatnya, industri perminyakan ini telah melalui berbagai proses dan liuk jalan yang sangat rumit, yang akhirnya pengaruh tangan asing dapat direduksi.
Upaya tersebut tidak sederhana karena sebelum upaya tersebut berhasil, jumlah pejabat atau karyawan lokal di sektor industri perminyakan Iran baik yang bekerja di bidang administrasi maupun di lapangan, tidak lebih dari 30 orang. Oleh karena itu, nasionalisasi minyak Iran dapat dikatakan merupakan momentum bersejarah dalam upaya pengembalian sektor ini ke tangan rakyat Iran. Sektor industri yang sebelumnya sangat asing bagi bangsa ini.
Perlu digaris bawahi bahwa sektor industri dan reduksi pengaruh perusahaan minyak Iran dan Inggris (Anglo-Persian Oil Company) itu tidak terjadi secara mendadak dan lenyap tiba-tiba. Karena setelah perusahaan gabungan Iran-Inggris itu tersingkir, terbentuk pula perusahaan-perusahaan serupaya dan juga berbagai konsorsium baru seperti yang terjadi pada tanggal 29 Oktober 1954. Pada hari itu ditandatangani kontrak antara pemerintah Iran di satu sisi dan sebuah konsorsium yang terdiri dari sejumlah perusahaan perminyakan ternama.
Anggota konsorsium minyak Iran itu adalah Perusahaan Eksplorasi Minyak dan Produksi Iran dan Perusahaan Penyulingan Minyak Iran yang membentuk sebuah konsorsium bernama Iranian Oil Participants Ltd (IOP).
Kedua perusahaan diberi ijin untuk melakukan eksplorasi dan produksi minyak mentah dan gas alam di zona yang telah ditentukan di selatan Iran yang dinamanakan, “Zona Kontrak”, serta menyuling minyak dan gas yang diproduksi. Masing-masing perusahaan tersebut dibentuk berdasarkan undang-undang Belanda dan diresmikan di Iran. Masing-masing perusahaan itu juga membentuk sebuah perusahaan cabang perdagangan yang juga dicatat di Iran yang beraktivitas secara independen. Perusahaan itu membeli minyak dan gas alam yang diproduksi dari zona di kawasan selatan kemudian menjualnya ke luar negeri.
Kedua perusahaan minyak tersebut juga menyuling minyak yang telah dibeli dan diekspor ke luar negeri. Komitmen finansial perusahaan dagang yang merupakan cabang dari perusahaan anggota konsorsium tersebut adalah membayar sebagian dari keuntungan dari penjualan minyak mentah yang diekspor dan juga pajak dari hasil penjualan sesuai dengan harga saat itu. Persentasenya mulai dari 23 persen meningkat hingga 55 persen.
Tugas dan Hak Perusahaan Minyak Nasional Iran Sebelum Revolusi Islam
Sebelum kemenangan Revolusi Islam Iran, Perusahaan Minyak Nasional Iran bertanggung jawab mendistribusi dan menjual produk minyak dan gas alam untuk digunakan di dalam negeri. Adapun Iranian Oil Participants Ltd (IOP) bertugas menyerahkan minyak mentah yang dituntut oleh pasar dalam negeri kepada Perusahaan Minyak Nasional Iran.
Perusahaan Nasional Minyak Iran juga bertanggung jawab memenuhi, menjaga, dan mengatur sarana dukungan produksi dengan istilah “jasa non-minyak”. Sementara seluruh sektor industri perminyakan sendiri secara eksklusif dipegang oleh pihak asing. Fasilitas permanen industri minyak Iran dalam tahap ini meski secara resmi adalah milik Perusahaan Nasional Minyak Iran, akan tetapi berdasarkan kontrak, perusahaan anggota konsorsium, berhak menggunakannya secara eksklusif selama kontrak berlaku.
Dengan dimulainya aktivitas konsorsium tersebut dan meski menurut rencana sebelumnya undang-undang nasionalisasi minyak akan diberlakukan, akan tetapi pada praktiknya, pemerintah dan Perusahaan Minyak Nasional Iran memiliki wewenang yang terbatas dalam hal ini. Hingga September 1974, para anggota konsorsium secara arbitrer menetapkan tingkat produksi dan harga minyak yang menjadi faktor utama pendapatan negara, tanpa berkonsultasi dengan pemerintah Iran. Pada hakikatnya, pemerintah Iran tidak memiliki hak dan wewenang apa pun dalam hal ini.
Pada sejak tahun 1974 dan pembentukan perusahaan jasa perminyakan Iran OSCO, terjadi perubahan besar dalam mekanisme pengawasan dan peran pemerintah dalam kinerja konsorsium. Akan tetapi pada faktanya adalah bahwa sampai terjadinya Revolusi Islam, pemerintah Iran tidak memiliki hak penuh di sektor paling vital ini.
Revolusi Islam dan Aksi Mogok Massal di Sektor Minyak
Kemarahan rakyat terhadap rezim Shah Pahlevi, meluas ke seluruh penjuru negeri. Minyak, yang industri utama dan sangat vital untuk perekonomian negara, sudah tidak mampu lagi bersabar di hadapan pengaruh luas pihak asing dan penistaan terhadap bangsa ini yang dimulai sejak penandatanganan kontrak D’Arcy.
Akhirnya pada bulan Oktober 1978, percikan pertama protes dan aksi mogok di wilayah-wilayah kaya minyak di selatan terpantik dan dalam sebuah aksi terkoordinasi, para pegawai di sektor ini secara serentak melakukan melakukan aksi mogok. Secara gradual aksi mogok dan protes terhadap perusahaan OSCO meningkat yang juga dikontrol oleh pihak asing.
Dengan cepat gelombang protes dan aksi mogok meluas ke berbagai kawasan. Sektor perminyakan Iran tengah mengambil langkah historis. Para pegawai dan buruh pernyulingan minyak Tehran juga masuk ke jantung gerakan Revolusi Islam di Tehran. Adapun di wilayah selatan, kondisinya tidak semudah itu. Jumlah pegawai lokal di bidang administrasi dan lapangan di zona-zona minyak Iran, bertambah seiring dengan pelaksanaan undang-undang nasionalisasi minyak. Selain di sektor manajemen, nyaris semua bidang di sektor minyak Iran dipegang oleh pegawai lokal. Oleh karena itu, pihak keamanan berusaha keras untuk menyeret para pegawai tersebut kembali bekerja dan mereka melancarkan berbagai tekanan hebat yang terus meningkat terhadap para pegawai dan buruh lokal.
Tersumbatnya kran minyak Iran semakin memperburuk kondisi dan semakin mendekatkan gerakan Revolusi Islam kepada kemenangannya. Dikhawatirkan, rezim akan berhasil mengakhiri aksi mogok tersebut dan dapat kembali bernafas dengan dimulainya ekspor minyak. Jika hal itu terjadi maka semangat Revolusi Islam akan terkoyak. Akan tetapi, para pegawai minyak di selatan bertahan dalam menghadapi berbagai tekanan dan tetap melanjutkan aksi mereka.
Pada tanggal 27 Desember 1978, para penguasa negara-negara Barat dan Amerika Serikat, menggelar sidang singkat di Guadalupe, guna membahas kondisi di Iran, dan dalam konferensi pers, media massa dunia dikejutkan dengan pengumuman bahwa “Hari ini ekspor minyak Iran terputus total.”
Keluarnya Pihak Asing
Akhirnya seluruh wewenang dan manajemen fasilitas minyak Iran berada di tangan para pegawai Iran dan para pegawai asing untuk kedua kalinya bersiap-siap untuk meninggalkan Iran. Di kawasan yang dihuni oleh warga asing di Ahwaz, Abadan, dan seluruh kawasan di Iran, para analis Amerika dan Eropa dengan cepat mengemas seluruh perabotan mereka serta menjual kendaraan, rumah, dan vila-vila mereka agar segera hengkang dari Iran.
Bandara Ahwaz yang sebelumya digunakan untuk mempermudah ketibaan para analis asing, pada hari-hari itu sibuk untuk melayani penerbangan secara silih berganti ke luar negeri dalam rangka mempercepat proses pemulangan para warga asing.
Di pintu terakhir terakhir sebelum menuju pesawat, seorang insinyur asal Amerika Serikat yang sedang berjalan menuju pesawat berpaling ke arah seorang pegawai bandaran lokal berkata; “Kita akan segera bertemu lagi kawan! Kami akan segera kembali!”
Pegawai bandara itu dengan cepat menjawab: “Tidak untuk kali ini! Saya kita kalian tidak akan kembali setelah ini!” (IRIB Indonesia/MZ)

Iran Peringati HUT Nasionalisasi Industri Minyak

Iran | Acehtraffic.com – Republik Islam Iran merayakan ulang tahun ke-61 nasionalisasi industri minyak negara itu. Ulang tahun tersebut merupakan momen yang menandai titik balik dalam sejarah modern Iran dan kemandiriannya.
Acara yang digelar setiap tahun, yaitu pada tanggal 20 Maret, tidak hanya penting dalam sejarah kampanye anti-kolonialis bangsa Iran, tetapi juga momen yang menentukan dalam sejarah perkembangan politik di Timur Tengah.
Pada tanggal 20 Maret 1951, anggota parlemen Iran meratifikasi RUU tentang nasionalisasi industri minyak Iran. RUU ini dipaparkan ke parlemen oleh Perdana Menteri Mohammad Mosaddeq dengan dukungan dari partai nasionalisnya dan kelompok agama yang dipimpin oleh ulama terkemuka Ayatollah Sayid Abolqasem Mostafavi Kashani.
Di bagian pertama RUU itu disebutkan bahwa industri minyak Iran yang dinasionalisasi di seluruh wilayah Iran tanpa pengecualian, menunjukkan bahwa eksplorasi seluruh minyak, penggalian dan operasi pemanfaatannya berada di tangan pemerintah Iran.
Undang-undang itu mengakhiri empat dekade kontrol Inggris terhadap minyak Iran, yang dilakukan oleh perusahaan minyak “The Anglo-Persian”.
“Nasionalisasi minyak memiliki dampak yang besar terhadap kemandirian Iran, kedaulatan nasional dan kebijakan luar negeri,” kata Maral Darbandi, seorang analis politik Tehran kepada Press TV (Senin, 19/3). Dia menambahkan, langkah tersebut mendapat dukungan kuat dari para pengusaha, intelektual dan ulama di Iran.
Iran sebagai eksportir minyak mentah utama adalah produsen minyak kedua di Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).| AT | Irib |

Mungkinkah, Nasionalisasi  Pertambangan & Migas?

Jakarta Dalam ayat 3 Bab XIV Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, jelas dinyatakan bahwa segala hal seperti, air, tanah, hasil Bumi Indonesia dikuasai oleh Negara untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Secara harfiah dalam Pasal tersebut, utuh, menyeluruh bahwa segala hal sensitif, strategis bahkan pribadi (Indonesia) alangkah bijak tetap dikuasai Negara. Termasuk Migas dan Pertambangan didalamnya.

 

Ribuan Pekerja Venezuela Serbu Ladang Minyak Milik Asing

Karakas (ANTARA News) – Ribuan pekerja Venezuela menyerbu ladang-ladang minyak yang dioperasikan pihak asing di negara itu, Selasa waktu setempat (Rabu WIB), untuk merayakan nasionalisasi industri minyak terbesar kelima dunia itu, bertepatan dengan Hari Buruh.
“Hari ini adalah berakhirnya era di mana kekayaan alam kita tidak lagi dikuasai siapapun, tapi oleh rakyat Venezuela,” kata Presiden Hugo Chavez, Selasa petang dalam pidatonya, seperti dilansair DPA. “Nasionalisasi minyak Venezuela kini telah menjadi kenyataan.”
Nasionalisasi, yang diumumkan Chavez Februari lalu, dilakukan saat Venezuela Senin petang mengatakan pihaknya akan keluar dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Chavez menyebut badan-badan pembangunan itu “alat imperialisme AS.”
Militer Venezuela dikirim ke ladang-ladang minyak di Orinoco Basin, sementara para pekerja yang mengenakan kaos oblong bertuliskan ” Setuju Nasionalisasi” kemudian datang ke ladang-ladang minyak itu setelah Selasa tengah malam.
Orinoco Basin, yang memiliki areal sepanjang 600 km dan lebar 70km , membentang di sepanjang Sungai Orinoco di Venezuela timur dan diperkirakan memiliki cadangan minyak mentah terbesar dunia. Venezuela mengatakan pihaknya bisa memperoleh cadangan minyak 370 miliar barel, dibanding dengan cadangan minyak sekarang sekitar 80 miliar barel.
Perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di daerah itu terpaksa menyerahkan kekuasaan atas ladang-ladang minyak itu kepada perusahaan Petroleos de Venezuela (PDVSA) milik negara dan mendapat saham minoritas dalam apa yang disebut usaha bersama . Perusahaan AS Exxon Mobil dan Chevron , perusahaan Prancis Total , British Petroleum and Statoil dari Norwegia setuju, sementara satu perjanjian masih disusun dengan perusahaan AS Conoco Phillips.
Perusahaan-perusahaan minyak inetrnasional itu merupakan bagian dari asosiasi-asosiasi strategis yang melakukan investasi penting sejak tahun 1990-an untuk membangun teknologi untuk mengubah minyak berat di Orinoco Basin menjadi lebih ringan, kualitas lebih baik.
Asosiasi-asosiasi itu sekarang memproduksi sekitar 600.000 barel per hari, dan sudah membayar 33,33 persen royalti dan 50 persen pajak pendapatan untuk setiap barel.
Sekitar 20 perusahaan asing menyetujui tawaran usaha bersama pemeritnah itu dan tidak satupun memiliki saham mayoritas. Lebih dari separuh ekspor minyak Venezuela adalah ke musuh politik Chavez yaitu AS.
Ketika memulai masa jabatan keduanya tahun ini, Chavez segera berusaha menasionalisasi industri-industri minyak, gas dan telekomuniasi negara itu. Ia mendapat hak yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan dekrit, membangun satu mandat pemilihan yang kuat untuk melaksanakan Sosialisme Abad ke-21 gayanya sendiri.
Venezuela memiliki kontak sedikit dangan Bank Dunia dan IMF sejak Chavez pertama terpilih menjadi presiden tahun 1999 dan IMF sudah menutup kantornya di Karakas tahun lalu. Venezuela mengumumkan awal April bahwa pihaknya telah membayar utang-utangnya kepada dua lembaga itu.
IMF memiliki sejarah kadang-kadang baik dan kadang-kadang buruk di Venezuela. Pemotongan anggaran belanja oleh IMF pada pemerintah Venezuela tahun 1989 menimbulkan protes dan kerusuhan yang yang secara keras ditindak oleh polisi dan angkatan bersenjata, menewaskan 300 orang.
Chavez pada hari Senin mengancam akan keluar dari Organisasi Negara-negara Amerika, karena blok Amerika raya itu mempertimbangkan pengenaan sanksi terhadap Venezuela karena tidak memperpanjang izin satu jaringan televisi independen yang mendukung oposisi.
Rencana nasionalisasi minyak Venezuela paralel dengan tindakan Bolivia tahun lalu untuk lebih memperketat penguasaan atas sumber-sumber gas alamnya.
Pada 1 Mei tahun lalu, Presiden Bolivia Evo Morales — sekutu dekat dan sahabat Chavez melakukan tindakan yang mengejutkan , mengumumkan nasionalisasi cadangan gas alam negara itu di Andean, terbesar kedua di Amerika Selatan setelah Venezuela.
Pemerintah Bolivia merundingkan kembali kontrak-kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing, meningkatkan pendapatan negara untuk membiayai program sosial yang dilaksanakan Morales.
Sekutu lain Chavez, Presiden Ekuador Rafael Correa, memperingatkan rencana-rencana negara kaya minyaknya akan meninjau ulang semua kontrak untuk semua eksplorasi di wilayahnya dan mungkin membatalkan beberapa perjanjian.
Pada Mei 2006, sebelum Correa menjadi presiden, pemerintah di Quito membatalkan satu perjanjian dengan poerusahan raksasa minyak AS Occidental menyangkut apa yang disebut pelanggaran-pelanggaran kontrak. Tindakan itu mendorong penangguhan satu perundingan mengenai perjanjan perdagangan bebas dengan AS. (*)
Berikut tulisan dari Ensiklopedi MS Encarta:
Saudi Arabia
The latter development, along with Saudi Arabia’s 1974 takeover of controlling interest in the huge oil company Aramco, greatly increased government revenue, thus providing funds for another massive economic development plan.
The oil industry is the most important sector of the Saudi economy. Saudi Arabia’s proven petroleum reserves amount to one-fourth of the world total. The major oil fields are in the eastern part of the country and offshore in the Persian Gulf. Because the country has relatively small internal demand for oil, it exports most of its production. It is the largest exporter of petroleum in the world—in 2001 Saudi Arabia exported about 6.3 million barrels per day—and has the power to influence world oil prices.
Commercial quantities of oil were discovered in Saudi Arabia in 1938, but World War II (1939-1945) delayed large-scale exports until the 1950s. Initial exploration and drilling were carried out by the Arabian American Oil Company (Aramco), the operating company of Standard Oil of California (Socal). Several other U.S. oil companies acquired shares in Aramco in 1948. The Saudi government bought a 25 percent share of the company in 1973, then took complete control in 1980, after which the company was called Saudi Aramco. Production rose steadily from about 1.3 million barrels per day in 1960 to 3.8 million barrels per day in 1970. The increased production coupled with rising oil prices, especially in 1973 and 1974, brought huge revenues to the Saudi government. Another rapid increase in revenues followed the Islamic Revolution of Iran (1978-1979), when Saudi Arabia increased production to compensate for the drop in Iranian production, and prices rose due to the uncertain market. Oil prices declined along with world demand for oil during the worldwide economic recession of the early 1980s. In 2002 Saudi Arabia produced 7.6 million barrels of oil per day.
Saudi Arabia began producing natural gas liquids in 1962. In 1982 the first phase of the so-called Master Gas System was put in place. This system was built to capture the natural gas that was released as a by-product of oil production and distribute it to power petrochemical plants, steel factories, and other manufacturing enterprises. By the late 1990s plans were put forward to exploit the kingdom’s other gas fields. In June 2001 Saudi Arabia awarded concessions for the projects to several foreign companies, marking the return of foreign companies for the first time since 1975. In 2002 Saudi Arabia produced 57 billion cu m (2 trillion cu ft) of natural gas.
The state-owned Saudi Arabian Mining Company controls Saudi Arabia’s significant nonpetrochemical mineral resources. These other mineral products include limestone, gypsum, marble, clay, and salt. In addition, smaller mining operations extract gold, silver, bauxite, copper, zinc, and iron ore
VENEZUELA
Petroleum, located in the Maracaibo Basin and in the eastern part of the country, dominates the Venezuelan economy. Crude and refined oil are the main source of government revenue and account for about one-third of the GDP. In 2002 Venezuela produced almost 1 billion barrels. Much of its oil is exported to the Netherlands Antilles for refining. Venezuela is a founding member of the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC).
The Venezuelan government nationalized the petroleum industry in 1976, although private investment and foreign participation has been permitted since 1992. In 2003 the country had petroleum reserves estimated at 78 billion barrels.

Nationalization

nationalization, acquisition and operation by a country of business enterprises formerly owned and operated by private individuals or corporations. State or local authorities have traditionally taken private property for such public purposes as the construction of roads, dams, or public buildings. Known as the right of eminent domain, this process is usually accompanied by the payment of compensation. By contrast, the concept of nationalization is a 20th cent. development that differs from eminent domain in motive and degree; it is done for the purpose of social and economic equality and is usually, although not always, applied as a principle of communistic or socialistic theories of society. The Communist states of Eastern Europe nationalized all industry and agriculture in the period following World War II. Under the Labour government of the period 1945 to 1951, Great Britain nationalized a number of important industries, including coal, steel, and transportation. In non-Communist countries it has been common practice to compensate the owners of nationalized properties, at least in part; however, in the Communist countries, where private ownership is opposed in principle, there usually has not been such compensation. Nationalization of foreign properties has occurred, especially in developing nations, where there is resentment of foreign control of major industries. Instances include Mexico’s seizure of oil properties owned by U.S. corporations (1938), Iran’s nationalization of the Anglo-Iranian Oil Company (1951), the nationalization of the Suez Canal Company (1956) by Egypt, and Chile’s nationalization of its foreign-owned copper-mining industry (1971). Such expropriations raise complex problems of international law. In some cases disputes over nationalization are settled by adjudication, with the expropriated parties obtaining compensation for their former properties, if only in part. In other instances, where no compensation is offered, severe strain in international relations may arise. The International Court of Justice ruled (1952) in the Anglo-Iranian Oil Company dispute that a concession made by a state to a foreign corporation is not an international agreement and is subject to the law of the conceding state—meaning that investors must assume the risk of nationalization in the country in which they invest, and developing nations have held that nationalization is a right implied by the UN Charter.
http://www.infoplease.com/ce6/history/A0834953.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Nationalization


Source : http://infoindonesia.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar