Daftar Negara yang Nasionalisasi Perusahaan Minyak Asing
Inilah daftar negara yang menasionalisasi
perusahaan minyak asing (Perusahaan AS, Inggris, Uni Soviet, dsb). Iran
menasionalisasi perusahaan minyaknya lewat tekanan ulama dan
rakyatnya. Arab Saudi menasionalisasi perusahaan minyak AS Aramco di
tahun 1974 lewat Raja Faisal. Raja Faisal berhasil mengubah negara Arab
Saudi yang di tahun 1970-an miskin, menjadi negara yang sangat makmur
sekarang ini. Karena sejak dinasionalisasi, pendapatan minyak meningkat
drastis sehingga bisa mendanai pembangunan secara masif.
Hugo
Chavez berhasil menasionalisasi perusahaan migas di Venezuela. Meski
Exxon menuntut US$ 12 Milyar atas asetnya, namun Lembaga Arbitrase
Internasional memutuskan hanya US$ 907 juta yang harus dibayar. Artinya
dengan produksi minyak Venezuela sekitar 3 juta bph, dengan harga minyak
US$ 100/brl, aset Exxon itu sudah lunas dibayar dengan produksi minyak
10 hari saja. Evo Morales juga berhasil menasionalisasi perusahaan
minyak di Bolivia.
Ada pun Norwegia, meski merupakan negara
Liberal, tetap mengelola migas mereka melalui BUMN mereka sehingga 100%
hasil migas dinikmati rakyat mereka. Bukan oleh segelintir pengusaha
asing/swasta. Tak heran meski baru menemukan minyak di tahun 1970-an,
mereka jauh lebih makmur ketimbang Indonesia yang sudah 100 tahun
minyaknya dikeruk. Ini karena Norwegia mengeruk minyaknya sendiri.
Sedang Indonesia, yang mengeruk 90% adalah perusahaan2 asing seperti
Chevron, Exxon Mobil, Conoco, dsb.
Dalam ayat 3
Bab XIV Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, jelas dinyatakan bahwa segala
hal seperti, air, tanah, hasil Bumi Indonesia dikuasai oleh Negara
untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Dari situ kita tahu bahwa seharusnya
kekayaan alam Indonesia seperti minyak, gas, emas, perak, tembaga,
batubara, dsb dikelola oleh negara melalui BUMN sehingga bisa dinikmati
oleh rakyat banyak. Bukan justru dinikmati oleh perusahaan2 asing dan
segelintir kompradornya.
Tentu saja Nasionalisasi akan membawa
resiko. Raja Faisal setelah menasionalisasi perusahaan AS Aramco di
tahun 1974, tahun 1975 ditembak mati oleh keponakannya sendiri.
Sementara Hugo Chavez dan Evo Morales jadi musuh Amerika Serikat.
Berulangkali Hugo Chavez mengalami percobaan pembunuhan.
Ada pun Iran, mengalami berbagai embargo
dari pembekuan aset, embargo minyak, bahkan ancaman perang terbuka oleh
AS dan sekutunya. Ayatullah Kashani yang memimpin rakyat untuk
menasionalisasi perusahaan minyak asing diasingkan ke Lebanon.
Iraq bahkan diserang dan dibunuh
presidennya (Saddam Hussein). Jadi Nasionalisasi penuh resiko yang
berat. Namun pejuang kita dulu punya semboyan “Merdeka atau Mati!”. Dari
pada hidup hina terjajah, lebih baik merdeka atau mati.
Beberapa negara yang telah melakukan Nasionalisasi adalah Iran, Mesir, Arab Saudi, Cili, Venezuela, Bolivia, Norwegia, dsb.
Sejarah Nasionalisasi Minyak Iran
Akhir abad 19, bersamaan dengan gerakan
Revolusi Konstitusi di Iran, munculnya gerakan nasionalisasi industri
minyak Iran membuat negara-negara imperialis semakin tamak untuk
mencampuri urusan dalam negeri Iran. Sejak ditemukannya minyak, dua
negara besar kala itu yaitu Inggris dan Rusia, lebih dahulu terjun ke
kancah ini dan kedua negara mulai mencampuri urusan dalam negeri Iran.
Masing-masing pihak berusaha untuk meraih bagian lebih besar dari sumber
alam Iran. Akan tetapi, Britania lebih dahulu memahami pentingnya
industri minyak dibanding negara-negara rivalnya dan dengan cepat
memantapkan pijakan imperialisnya di Iran.
Sebelum meletusnya Perang Dunia I, bagi
para pejabat Iran dan negara-negara lain, industri minyak masih sangat
asing dan oleh karena itu mereka tidak menunjukkan sensitivitas dalam
memberi konsesi kepada negara lain di sektor ini. Perang Dunia I
menyingkap pentingnya industri minyak yang dinilai sebagai motor
penggerak pasukan perang yang membawa kemenangan bagi pasukan sekutu.
Baru setelah Perang Dunia I, para pejabat Iran dan negara lain membuka
mata dan menyadari pentingnya industri minyak.
Konsesi D’Arcy
Sejarah perjanjian minyak Iran dimulai dengan konsesi yang diberikan oleh Shah Naseruddin Shah pada tahun 1872 untuk Baron Julius de Reuter, seorang warga Inggris asal Jerman. Konsesi yang mencakup seluruh wilayah Persia itu, memberikan hak eksklusif dan monopoli kepada Reuter untuk mengeksploitasi sumber daya mineral termasuk batubara, besi, tembaga, timah, dan minyak bumi selama 70 tahun untuk membangun dan mengoperasikan jalan, rel kereta api, jaringan telegraf, kanal air, sistem irigasi, dan layanan bea cukai.
Sejarah perjanjian minyak Iran dimulai dengan konsesi yang diberikan oleh Shah Naseruddin Shah pada tahun 1872 untuk Baron Julius de Reuter, seorang warga Inggris asal Jerman. Konsesi yang mencakup seluruh wilayah Persia itu, memberikan hak eksklusif dan monopoli kepada Reuter untuk mengeksploitasi sumber daya mineral termasuk batubara, besi, tembaga, timah, dan minyak bumi selama 70 tahun untuk membangun dan mengoperasikan jalan, rel kereta api, jaringan telegraf, kanal air, sistem irigasi, dan layanan bea cukai.
Kontrak Reuter dibatalkan beberapa tahun
kemudian akibat tekanan politik kuat dari pemerintah Tsar (Rusia) serta
sejumlah tokoh oposisi terkemuka Persia. Namun berkat intervensi
Inggris, Shah Naseruddin Shah memberikan konsesi baru kepada Reuter pada
tahun 1889, yang kemudian dikenal dengan konsesi Bank-e Shahi (Bank
Imperium Persia). Berdasarkan konsesi itu, bank berhak memanfaatkan
semua sumber daya mineral di seluruh negeri, kecuali emas, perak, dan
logam berharga lainnya. Bank tersebut kemudian menjual hak eksploitasi
mineral di Iran itu kepada sebuah perusahaan Inggris Persian Mining
Corporation dengan harga 150.000 poundsterling. 10 tahun kemudian,
konsesi Persia Mining Corporation itu dibatalkan karena kurang
pendanaan.
Rentetan peristiwa itu membuat Persia
masuk dalam skema minyak internasional. Langkah pertama diawali oleh
Antoine Ketabchi Khan, komisaris jenderal Persia untuk Pameran Paris
1900. Ketabchi Khan, adalah seorang keturunan Armenia yang menjabat
beberapa posisi penting dalam pemerintah Persia, termasuk sebagai
direktur bea cukai. Meskipun secara lahiriyah Ketabchi Khan hanya
bermaksud meninjau Pameran Paris, akan tetapi tujuan utamanya adalah
mencari investor dari Eropa yang bersedia mengambil konsesi minyak di
Persia. Di Paris, Ketabchi Khan meminta bantuan Sir Henry Drummond
Wolff, mantan menteri Inggris di Tehran era 1887-1890, yang menyarankan
William Knox D’Arcy untuk merebut konsesi minyak di Persia.
D’Arcy adalah seorang investor Inggris
yang sukses di sektor pertambangan emas di Australia dan berhasrat untuk
mencoba keberuntungannya di sektor minyak Persia. Pada tanggal 16 April
1901, perwakilan D’Arcy’s tiba di Tehran untuk berunding. Persaingan
antara Inggris dan Tsar Rusia kala itu mengubah negeri Persia menjadi
faktor determinan dalam diplomasi kekuatan adidaya.
Rusia ingin membuktikan politik
dominannya atas Persia dan menyingkirkan negara-negara rival. Adapun
bagi menteri Inggris untuk Persia, Sir Arthur Henry Hardinge, tujuan
utama pemerintah London adalah melawan aksi-aksi seperti itu. Dan di
sinilah D’Arcy dan kontribusinya di sektor minyak dapat membantu. Sebuah
konsesi minyak tentu akan membantu menyeimbangkan pengaruh dan kekuatan
Inggris di hadapan Rusia. Oleh karena itu, Inggris memberikan penuh
atas upaya D’Arcy.
Pemerintah Muzaffaruddin Shah pada tahun
1901 memberikan D’Arcy konsesi minyak di seluruh wilayah Iran kecuali
Azerbaijan, Gilan, Mazandaran, Gorgan, dan Khorasan, yang berbatasan
dengan Rusia. Konsesi itu berlaku selama 60 tahun. Akan tetapi konsesi
tersebut tidak hanya terbatas pada minyak melainkan seluruh tambang
mineral Persia.
Kontrak D’Arcy mengantar hubungan
bilateral Inggris dan Persia pada satu titik bersejarah, mengingat
kepentingan Britania di Persia mencakup kepentingan strategis. Persia
berada di jalur penting bagi Inggris untuk mencapai wilayah jajahannya,
India. Inggris khawatir jika pengaruh Rusia mendominasi, maka jalur
menuju India akan terblokir.
Di sisi lain, imperium Persia menghadapi
dua kekuatan adidaya itu dengan politik-politik konservatif dan pasif.
Oleh karena itu, konsesi D’Arcy tidak mencakup lima propinsi di wilayah
utara yang diserahkan kepada Rusia. Namun, Rusia tidak pernah
menggunakan konsesinya.
Fajar Minyak Iran
William Knox D’Arcy, adalah raja minyak Iran yang tidak pernah menginjakkan kakinya ke Iran. D’Arcy tidak memiliki organisasi dan perusahaan, hanya seorang sekretaris menangani menangani korespondensi bisnisnya. Untuk masalah penanganan operasi kerja di lapangan, ia merekrut George Reynolds, lulusan Sekolah Tinggi Teknik Kerajaan India yang memilii pengalaman pengeboran di Sumatra.
William Knox D’Arcy, adalah raja minyak Iran yang tidak pernah menginjakkan kakinya ke Iran. D’Arcy tidak memiliki organisasi dan perusahaan, hanya seorang sekretaris menangani menangani korespondensi bisnisnya. Untuk masalah penanganan operasi kerja di lapangan, ia merekrut George Reynolds, lulusan Sekolah Tinggi Teknik Kerajaan India yang memilii pengalaman pengeboran di Sumatra.
Situs pertama yang dipilih untuk
eksplorasi berada di Chia Sorkh, sebuah dataran tinggi yang nyaris tidak
dapat diakses di pegunungan di Kermanshah, Iran barat, Mamatin,
Rohmurz, dan zona minyak di Masjed Soleiman. Di Chia Sorkh tidak
ditemukan sumber minyak yang cukup berarti. Di Mamatin juga tidak
ditemukan minyak.
Kondisi pengeboran minyak di Masjed
Soleiman kondisinya berbeda. Ketika sampai di kedalaman 360 meter, pucuk
bor berhasil menembus lapisan penutup sumur minyak dan dengan demikian
pada 26 Mei 1902, dimulailah fajar minyak di Iran. Akan tetapi, hal itu
terjadi di saat D’Arcy diminta untuk menghentikan operasi eksploitasi
minyaknya dan merelokasi seluruh perlengkapan minyaknya ke Khorramshahr
untuk direlokasi ke Inggris.
Pasalnya, pada April 1904, nyaris tiga
tahun operasinya di Iran, biaya operasional yang tinggi menyeret
perusahaan D’Arcy, hingga ke ambang bangkrut. Pemerintah Inggris
khawatir bahwa D’Arcy kemungkinan terpaksa kehilangan konsesinya dan
menjualnya kepada pihak asing. Akhirnya, pada tahun 1905, empat tahun
sejak Shah Iran menandatangani konsesi itu, muncul persaingan antara
D’Arcy dan perusahaan Burma Oil di London. Kedua pihak sepakat
bekerjasama dengan membentuk sindikat bernama Anglo-Persian Oil Company
(APOC). Perusahaan operasional D’Arcy menjadi anak perusahaan, dan
D’Arcy sendiri ditunjuk sebagai direktur perusahaan baru tersebut.
Pembentukan sindikat konsesi diikuti
dengan pergeseran lokasi eksplorasi ke kawasan barat daya Iran di
Meidan-e-Naftan. Anglo-Persian Oil Company (APOC), go public pada
tanggal 19 April 1909, dan penawaran saham pada hari itu mengakibatkan
cabang Glasgow Bank of Scotland dikerumuni para peminat yang bersemangat
untuk berinvestasi. Burmah Oil mengambil mayoritas saham sindikat
tersebut dan D’Arcy mendapat saham senilai 895.000 poundsterling sebagai
kompensasi biaya eksplorasi.
Sebuah sumber minyak baru telah diamankan
di bawah pemerintah Inggris. Namun muncul masalah dalam proses
ekstraksi dan penyulingannya. Situs tersebut untuk kilang minyak Abadan.
Pada tes pertama tahun 1912, kilang minyak mengalami kerusakan dan
kualitas produknya juga rendah. Kembali kelangsungan hidup sindikat
Anglo-Persian Oil Company (APOC) terancam. Pada akhir 1912, APOC telah
habis modal kerja. Beberapa tahun lalu, perusahaan Burma Oil menjadi
penyelamat dan sekarang ia harus mencari juru penyelamat.
Pada Juni 1913 Winston Churchill,
Laksamana Agung Angkatan Laut Britania, menyerahkan memorandum kepada
kabinet yang isinya suplai minyak untuk armada Angkatan Laut Kerajaan.
Kabinet setuju prinsip yang ditawarkan bahwa pemerintah harus meraih
saham mayoritas di pihak pemasok bahan bakar terpercaya. Setelah
perdebatan panjang di kabinet, diputuskan bahwa pemerintah sendiri akan
menjadi pemegang saham Anglo-Persian Oil Company (APOC).
Mulainya Friksi
Setelah pemerintah Inggris menjadi pemegang saham APOC, di lain pihak pemerintah Iran menandatangani kontrak dengan perusahaan lain termasuk Bakhtiari Oil Company, First Exploration Oil Company. Kontrak-kontrak tersebut semakin melemahkan posisi pemerintah pusat Iran dan penentangan dari berbagai etnis dan kelompok nomaden pun semakin meningkat.
Setelah pemerintah Inggris menjadi pemegang saham APOC, di lain pihak pemerintah Iran menandatangani kontrak dengan perusahaan lain termasuk Bakhtiari Oil Company, First Exploration Oil Company. Kontrak-kontrak tersebut semakin melemahkan posisi pemerintah pusat Iran dan penentangan dari berbagai etnis dan kelompok nomaden pun semakin meningkat.
Selama Perang Dunia I, meski menyatakan
netral, Persia diinvasi oleh tentara Inggris, Rusia, dan Turki. Selain
itu, ada pemberontakan suku di selatan dan di utara. Kala itu, kondisi
di Iran benar-benar kacau. Situasi carut marut seperti itu, sangat
menguntungkan bagi tokoh kuat untuk terjun dan mengisi kekosongan
wewenang di ibukota Tehran.
Terdorong oleh kondisi, Reza Khan,
seorang perwira militer, merebut kekuasaan pada tahun 1921. Setelah
menjabat sebagai menteri pertahanan, ia meningkatkan jabatannya menjadi
menjadi perdana menteri pada tahun 1923. Dua tahun kemudian Ahmad Shah
digulingkan dan pada tahun 1926 Reza Khan memilih nama Pahlevi sebagai
nama dinastinya, dan menobatkan diri sebagai Reza Syah Pahlevi. Di lain
pihak, APOC tidak memerlukan waktu lama menyadari bahwa mereka tidak
lagi berurusan dengan pemerintahan tradisional yang lemah dari era
Qajar, melainkan kini mereka berhadapan dengan sosok otoriter yang kuat.
Di bawah pemerintahan Reza Syah, Iran
memulai program modernisasi yang pelaksanaannya pemberdayaannya
memerlukan sumber finansial yang sangat besar. Dinasti Pahlevi menolak
pinjaman dari luar negeri, karena dinilai akan mengancam independensi
nasional. Meski pajak tidak langsung di dalam negeri pada produk-produk
harian seperti teh dan gula ditingkatkan untuk mendanai proyek-proyek
seperti Kereta Api Trans-Iran, Shah tidak ingin kehilangan pendapatan
dengan meningkatkan dari keuntungan yang diterima APOC dan pembayaran
pajak.
Pasca Perang Dunia I, muncul friksi
antara Iran dan APOC. Sejak tahun 1927, digelar perundingan terperinci
untuk menyelesaikan friksi antara Teymourtash, dari dewan menteri
Dinasti Pahlevi dan perusahaan Inggris. Akan tetapi kedua pihak gagal
mencapai kesepakatan.
Di akhir tahun 1928, Sir John Cadman,
Presiden APOC, mengusulkan kepada Teymourtash untuk memperpanjang
konsesi D’Arcy guna mendapat dana investasi. Akan tetapi Teymourtash
menjawab usulan Codman itu dan mengatakan, “Iran siap untuk merevisi
konsesi D’Arcy tapi tidak untuk perpanjangannya.”
Pada 26 November 1932, Reza Shah
mendiktekan surat pembatalan konsesi D’Arcy. Surat tersebut
dipubliasikan secara resmi keesokan harinya. Meski dalam surat itu
disebutkan bahwa pembatalan sepihak itu merupakan satu-satunya cara
untuk melindungi hak-hak negara, ditekankan pula bahwa pemerintah Iran
pada prinsipnya tidak menolak memberikan konsesi baru.
Menyikapi surat tersebut, pemerintah
Inggris menyatakan bahwa Iran tidak berhak membatalkan konsesi secara
sepihak. Lima bulan kemudian, pada bulan April 1933, Sir John Cadman
pergi ke Tehran mencoba menyelamatkan kondisi dan bertemu dengan Shah.
Pertemuan itu menjadi peristiwa monumental karena masing-masing memiliki
wewenang tak terbantahkan untuk kesepakatan. Kedua pihak pun meraih
terobosan baru. (IRIB Indonesia)
http://indonesian.irib.ir/c/journal/view_article_content?groupId=10330&articleId=5037999&version=1.0
Setelah pendudukan atas Iran oleh Inggris
dan Soviet, serta masuknya Amerika Serikat ke kancah Iran pada era
Perang Dunia II, persaingan kaum imperialis terhadap sumber minyak di
Iran juga semakin meningkat. Menyusul permintaan minyak dari ketiga
negara itu, pemerintah Iran menyatakan bahwa segala bentuk konsesi atau
kontrak minyak harus ditangguhkan setelah perang. Karena pada masa itu,
kondisi perekonomian negara sedang tidak sehat karena perang. Iran
secara resmi menolak permintaan minyak ketiga negara.
Penolakan tersebut sangat menyakitkan
bagi Uni Soviet yang langsung menghujani pemerintah Iran dengan berbagai
kritik. Doktor Mohammad Mosaddeq, mengemukakan pidato panjang di
parlemen dan menjawab pertanyaan dari berbagai media massa dalam negeri.
Pasca Perang Dunia II, Inggris dan Uni
Soviet, diwajibkan menarik mundur pasukannya dari wilayah Iran dalam
kurun waktu enam bulan. Akan tetapi Uni Soviet menolak keluar dari Iran
dan bahkan menambah jumlah pasukannya di wilayah utara. Pada masa itu,
Ahmad Qavam yang menjabat sebagai Perdana Menteri dengan berbagai
kebijakan yang diambil akhirnya mampu memaksa Uni Soviet menarik mundur
pasukannya dari utara Iran.
Ditandatangani kesepakatan antara
pemerintah Iran dan Duta Besar Uni Soviet di Tehran. Berdasarkan
kesepakatan tersebut, pasukan Soviet harus keluar dari wilayah Iran
dalam waktu satu setengah bulan dan akan dibentuk sebuah perusahaan
kolektif Iran-Soviet, yang proposalnya harus diserahkan kepada parlemen
hingga tujuh bulan berikutnya.
Akan tetapi, di tengah meningkatnya
nasionalisme Iran, ditetapkan satu pasal hukum pada 22 Oktober 1947 oleh
pemerintah Iran guna merevisi konsesi Anglo Iranian Oil Company (AIOC),
yang menjadi isu dominan dalam kehidupan politik di Iran selama
beberapa tahun ke depan.
Menariknya, pemerintah Inggris tidak
tampak kecewa atas penentapan hukum tersebut karena dengan demikian, Uni
Soviet kehilangan kesempatan untuk menjamah minyak Iran. Di satu sisi,
para pejabat Inggris mulai berunding dengan para pejabat Iran untuk
menjaga kepentingan minyak mereka di wilayah selatan Iran. Hasilnya
adalah bahwa kedua pihak menyepakati revisi
Akan tetapi kesepakatan tersebut
memancing penentangan hebat di dalam negeri termasuk dari kalangan
anggota parlemen dan pengamat. Akan tetapi pada akhirnya tanggal 17 Juli
1949, kesepakatan tambahan untuk konsesi 1933 ditandatangani oleh
direktur AIOC Neville Gass dan Menteri Keuangan Iran, Abbasqoli
Golshaiyan. Kesepakatan tersebut memang memihak pada Iran, akan tetapi
pemerintah Inggris mampu mengeruk berbagai konsesi hukum untuk
kesepakatan D’Arcy yang juga ditandatangani oleh parlemen. Inggris
berhasil memperpanjang kesepakatan tersebut hingga 33 tahun. Selama itu
penguasaan minyak Iran oleh pemerintah Inggris akan dijamin pemerintah
Tehran.
Berdasarkan pasal keepuluh dalam
kesepakatan tersebut memiliki legalitas hukum dan pemerintah Iran tidak
dapat dengan mudah membatalkan kesepakatan tersebut. Akan tetapi
berbagai dialog dan pembahasan meluas tentang masalah ini telah
menyadarkan masyarakat Iran yang akhirnya menyulap upaya memperjuangkan
hak bangsa dari bentuk perjuangan diplomatik menjadisebuah gerakan
nasional.
Ayatullah Kashani tampil untuk membimbing
gerakan perjuangan tersebut. Dia merilis pernyataan keras kepada AIOC
dan menuntut pembatalan kontrak. Meluasnya tuntutan pembatalan kontrak
tersebut dalam masyarakat sangat buruk bagi AIOC dan rezim Shah.
Ayatullah Kashani akhirnya diasingkan ke Lebanon.
Pembentukan Majlis ke-16 dan Terpilihnya PM Razmara
Majlis ke-16 dibentuk pada tanggal 20 Bahman 1328 (9 Februari 1950) dan pemerintahan Saed pada tanggal 27 Esfand tahun yang sama (18 Maret 1950), jatuh setelah tidak mendapat mosi percaya. Ali Mansour ditunjuk sebagai penanggung jawab pembentukan kabinet baru atas permintaan Kedutaan Besar Inggris terhadap Shah. Guna mendapat dukungan sebanyak-banyaknya dari kalangan agamis Mansour mengundang Ayatullah Kashani yang kala itu di pengasingannya di Lebanon untuk kembali pulang.
Majlis ke-16 dibentuk pada tanggal 20 Bahman 1328 (9 Februari 1950) dan pemerintahan Saed pada tanggal 27 Esfand tahun yang sama (18 Maret 1950), jatuh setelah tidak mendapat mosi percaya. Ali Mansour ditunjuk sebagai penanggung jawab pembentukan kabinet baru atas permintaan Kedutaan Besar Inggris terhadap Shah. Guna mendapat dukungan sebanyak-banyaknya dari kalangan agamis Mansour mengundang Ayatullah Kashani yang kala itu di pengasingannya di Lebanon untuk kembali pulang.
Akan tetapi kembalinya Ayatullah Kashani
bukan hanya tidak menguntungkan Mansour, namun justru meningkatkan
demonstrasi rakyat sepekan setibanya di Iran, Ayatullah Kashani
melayangkan surat kepada Majlis, yang dibacakan oleh Doktor Mosaddeq.
Surat itu dalam rangka mereaksi kesepakatan tambahan dengan AIOC.
Di satu sisi Mansour kehilangan dukungan
terkuatnya yaitu dari Inggris, dan di sisi lain menghadapi penentangan
hebat dari kubu Ayatullah Kashani. Akhirnya selang lima bulan berkuasa
Mansour terpaksa mengundurkan diri, dan Razmara menggantikan posisinya
sebagai Perdana Menteri.
Salah satu tugas utama Razmara adalah
menetapkan kesepakatan tambahan dengan AIOC yang diajukan oleh Mansour
kepada parlemen dan tengah dibahas di komisi energi. Komisi itu harus
menganalisa kesepakat tersebut dan menyerahkan hasilnya kepada parlemen.
Setelah melalui pembahasan panjang
akhirnya komisi itu merampungkan analisanya pada tanggal 19 Azar 1328 (9
Desember 1949) dan memaparkan penjelasannya kepada Majlis. Komisi
tersebut menyatakan penentangannya terhadap kesepakatan dengan AIOC
karena dinilai bertentangan dengan kepentingan bangsa Iran.
Pada tanggal 26 Azar 1328 (17 Desember
1949) parlemen menyetujui hasil analisa komisi energi dan dengan
demikian kesepakatan dengan AIOC dibatalkan.
Nasionalisasi Minyak
Di sela-sela laporannya, komisi energi menyinggung masalah nasionalisasi minyak. Ketika laporan itu diratifikasi, komisi minyak Iran mengajukan sebuah program yang ditandatangani anggotanya sebanyak 11 orang kepada Majlis. Akan tetapi karena kurang dukungan akhrinya program tersebut gagal dibahas dalam sidang Majlis.
Di sela-sela laporannya, komisi energi menyinggung masalah nasionalisasi minyak. Ketika laporan itu diratifikasi, komisi minyak Iran mengajukan sebuah program yang ditandatangani anggotanya sebanyak 11 orang kepada Majlis. Akan tetapi karena kurang dukungan akhrinya program tersebut gagal dibahas dalam sidang Majlis.
Di sisi lain Razmara berusaha mencari
jalan keluar dari kebuntuan yang ditimbulkan oleh komisi minyak
tersebut. Dia berusaha mencegah prakarsa nasionalisasi minyak. Pada
tanggal 3 Dey 1328 (24 Desember 1949), Razmara hadir dalam sidang
tertutup Majlis dan di sana dia menentang keras gagasan nasionalisasi
minyak. Di akhir pernyataannya Razmara mengatakan, “Nasionalosasi minyak
adalah pengkhianatan terbesar.”
Dua hari berikutnya, menteri keuangan,
Gholammohsen Forouhar mendatangi Majlis dan selain menentang
nasionalisasi minyak dia juga mengajukan sebuah prakarsa baru
Tanggal 8 Dey, atas imbauan Ayatullah
Kashani dan sejumlah partaifront nasional, dan puluhan ribu warga
berkumpul di bundaran Baharestan. Di akhir demonstrasi itu dirilis
statemen yang menentang kesepakatan dengan AIOC. Pasca berbagai
pekanggaran dan berbagai intrik Razmara, para pemimpin gerakan pendukung
nasionalisasi minyak berpendapat bahwa kendala utama bagi mereka adalah
Razmara. Kala itu gerakan rakyat dipimpin oleh Ayatullah Kashani,
berusaha dengan kerjasama front nasional yang dipimpin oleh Doktor
Mosaddeq, bersama sejumlah anggota Majlis, dan kelompok Fadaeyan-e Eslam
yang dipimpin oleh Shahid Navab Safavi. Fadaeyan-e Eslam dan Safavi
memutuskan untuk melakukan sebuah gerakan revolusioner dalam
merealisasikan program dengan menyingkirkan kendala utama yaitu Razmara
terlebih dahulu.
Dengan tersingkirnya Razmara, maka tidak
ada lagi pihak yang menghalangi program nasionalisasi minyak. Oleh
karena itu, komisi minyak di Majlis kembali mengajukan program
nasionalisasi minyak dan akhirya disetujui. Akan tetapi mengingat
sempitnya waktu untuk membahas program tersebut, komisi meminta
perpanjangan waktu hingga dua bulan untuk membahas implementasi program
tersebut.
Pada tanggal 17 Esfand 1329 (8 Maret 1951), Majlis menyetujui permintaan komisi minyak dan memutuskan dua ketetapan;
1. Komisi minyak dapat memanfaatkan ahli asing dan lokal dan jika oerlu mengundang mereka.
2. Mereka dapat hadir (tinggal) sampai 15 hari pasca pembentukan komisi.
2. Mereka dapat hadir (tinggal) sampai 15 hari pasca pembentukan komisi.
Nasionalisasi minyak Iran disetujui pada
tanggal 24 Esfand di Majlis dengan suara mutlak dan resmi ditetapkan
pada tanggal 29 Esfand 1329 (20 Maret 1951). Dengan isi ketetapan
sebagai berikut;
Bismillahirrahmanirrahim
Atas nama kesejahteraan bangsa Iran dan
dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia, kami para penandatangan di
bawah ini mengusulkan nasionalisasi minyak Iran di seluruh kawasan tanpa
pengecualian, yakni seluruh operasi eksplorasi, penambangan, dan
pemanfaatan harus ditangani pemerintah.
Penetapan tersebut menjadi program kerja
pemerintah dan seluruh zona minyak Iran berada di bawah kontrol
pemerintah. Situasi tersebut membuat para pegawai dan pekerja asing di
sektor minyak Iran tidak puas dan akhirnya mereka semua meninggalkan
Iran pada 10 Mehr 1330 (2 Oktober 1951). (IRIB Indonesia)
http://indonesian.irib.ir/c/journal/view_article_content?groupId=10330&articleId=5057413&version=1.0
Para anggota parlemen, pejabat, dan tokoh
masyarakat Iran, berhasil mengembalikan sektor industri perminyakan ke
tangan bangsa ini. Pada hakikatnya, industri perminyakan ini telah
melalui berbagai proses dan liuk jalan yang sangat rumit, yang akhirnya
pengaruh tangan asing dapat direduksi.
Upaya tersebut tidak sederhana karena
sebelum upaya tersebut berhasil, jumlah pejabat atau karyawan lokal di
sektor industri perminyakan Iran baik yang bekerja di bidang
administrasi maupun di lapangan, tidak lebih dari 30 orang. Oleh karena
itu, nasionalisasi minyak Iran dapat dikatakan merupakan momentum
bersejarah dalam upaya pengembalian sektor ini ke tangan rakyat Iran.
Sektor industri yang sebelumnya sangat asing bagi bangsa ini.
Perlu digaris bawahi bahwa sektor
industri dan reduksi pengaruh perusahaan minyak Iran dan Inggris
(Anglo-Persian Oil Company) itu tidak terjadi secara mendadak dan lenyap
tiba-tiba. Karena setelah perusahaan gabungan Iran-Inggris itu
tersingkir, terbentuk pula perusahaan-perusahaan serupaya dan juga
berbagai konsorsium baru seperti yang terjadi pada tanggal 29 Oktober
1954. Pada hari itu ditandatangani kontrak antara pemerintah Iran di
satu sisi dan sebuah konsorsium yang terdiri dari sejumlah perusahaan
perminyakan ternama.
Anggota konsorsium minyak Iran itu adalah
Perusahaan Eksplorasi Minyak dan Produksi Iran dan Perusahaan
Penyulingan Minyak Iran yang membentuk sebuah konsorsium bernama Iranian
Oil Participants Ltd (IOP).
Kedua perusahaan diberi ijin untuk
melakukan eksplorasi dan produksi minyak mentah dan gas alam di zona
yang telah ditentukan di selatan Iran yang dinamanakan, “Zona Kontrak”,
serta menyuling minyak dan gas yang diproduksi. Masing-masing perusahaan
tersebut dibentuk berdasarkan undang-undang Belanda dan diresmikan di
Iran. Masing-masing perusahaan itu juga membentuk sebuah perusahaan
cabang perdagangan yang juga dicatat di Iran yang beraktivitas secara
independen. Perusahaan itu membeli minyak dan gas alam yang diproduksi
dari zona di kawasan selatan kemudian menjualnya ke luar negeri.
Kedua perusahaan minyak tersebut juga
menyuling minyak yang telah dibeli dan diekspor ke luar negeri. Komitmen
finansial perusahaan dagang yang merupakan cabang dari perusahaan
anggota konsorsium tersebut adalah membayar sebagian dari keuntungan
dari penjualan minyak mentah yang diekspor dan juga pajak dari hasil
penjualan sesuai dengan harga saat itu. Persentasenya mulai dari 23
persen meningkat hingga 55 persen.
Tugas dan Hak Perusahaan Minyak Nasional Iran Sebelum Revolusi Islam
Sebelum kemenangan Revolusi Islam Iran, Perusahaan Minyak Nasional Iran bertanggung jawab mendistribusi dan menjual produk minyak dan gas alam untuk digunakan di dalam negeri. Adapun Iranian Oil Participants Ltd (IOP) bertugas menyerahkan minyak mentah yang dituntut oleh pasar dalam negeri kepada Perusahaan Minyak Nasional Iran.
Sebelum kemenangan Revolusi Islam Iran, Perusahaan Minyak Nasional Iran bertanggung jawab mendistribusi dan menjual produk minyak dan gas alam untuk digunakan di dalam negeri. Adapun Iranian Oil Participants Ltd (IOP) bertugas menyerahkan minyak mentah yang dituntut oleh pasar dalam negeri kepada Perusahaan Minyak Nasional Iran.
Perusahaan Nasional Minyak Iran juga
bertanggung jawab memenuhi, menjaga, dan mengatur sarana dukungan
produksi dengan istilah “jasa non-minyak”. Sementara seluruh sektor
industri perminyakan sendiri secara eksklusif dipegang oleh pihak asing.
Fasilitas permanen industri minyak Iran dalam tahap ini meski secara
resmi adalah milik Perusahaan Nasional Minyak Iran, akan tetapi
berdasarkan kontrak, perusahaan anggota konsorsium, berhak
menggunakannya secara eksklusif selama kontrak berlaku.
Dengan dimulainya aktivitas konsorsium
tersebut dan meski menurut rencana sebelumnya undang-undang
nasionalisasi minyak akan diberlakukan, akan tetapi pada praktiknya,
pemerintah dan Perusahaan Minyak Nasional Iran memiliki wewenang yang
terbatas dalam hal ini. Hingga September 1974, para anggota konsorsium
secara arbitrer menetapkan tingkat produksi dan harga minyak yang
menjadi faktor utama pendapatan negara, tanpa berkonsultasi dengan
pemerintah Iran. Pada hakikatnya, pemerintah Iran tidak memiliki hak dan
wewenang apa pun dalam hal ini.
Pada sejak tahun 1974 dan pembentukan
perusahaan jasa perminyakan Iran OSCO, terjadi perubahan besar dalam
mekanisme pengawasan dan peran pemerintah dalam kinerja konsorsium. Akan
tetapi pada faktanya adalah bahwa sampai terjadinya Revolusi Islam,
pemerintah Iran tidak memiliki hak penuh di sektor paling vital ini.
Revolusi Islam dan Aksi Mogok Massal di Sektor Minyak
Kemarahan rakyat terhadap rezim Shah Pahlevi, meluas ke seluruh penjuru negeri. Minyak, yang industri utama dan sangat vital untuk perekonomian negara, sudah tidak mampu lagi bersabar di hadapan pengaruh luas pihak asing dan penistaan terhadap bangsa ini yang dimulai sejak penandatanganan kontrak D’Arcy.
Kemarahan rakyat terhadap rezim Shah Pahlevi, meluas ke seluruh penjuru negeri. Minyak, yang industri utama dan sangat vital untuk perekonomian negara, sudah tidak mampu lagi bersabar di hadapan pengaruh luas pihak asing dan penistaan terhadap bangsa ini yang dimulai sejak penandatanganan kontrak D’Arcy.
Akhirnya pada bulan Oktober 1978,
percikan pertama protes dan aksi mogok di wilayah-wilayah kaya minyak di
selatan terpantik dan dalam sebuah aksi terkoordinasi, para pegawai di
sektor ini secara serentak melakukan melakukan aksi mogok. Secara
gradual aksi mogok dan protes terhadap perusahaan OSCO meningkat yang
juga dikontrol oleh pihak asing.
Dengan cepat gelombang protes dan aksi
mogok meluas ke berbagai kawasan. Sektor perminyakan Iran tengah
mengambil langkah historis. Para pegawai dan buruh pernyulingan minyak
Tehran juga masuk ke jantung gerakan Revolusi Islam di Tehran. Adapun di
wilayah selatan, kondisinya tidak semudah itu. Jumlah pegawai lokal di
bidang administrasi dan lapangan di zona-zona minyak Iran, bertambah
seiring dengan pelaksanaan undang-undang nasionalisasi minyak. Selain di
sektor manajemen, nyaris semua bidang di sektor minyak Iran dipegang
oleh pegawai lokal. Oleh karena itu, pihak keamanan berusaha keras untuk
menyeret para pegawai tersebut kembali bekerja dan mereka melancarkan
berbagai tekanan hebat yang terus meningkat terhadap para pegawai dan
buruh lokal.
Tersumbatnya kran minyak Iran semakin
memperburuk kondisi dan semakin mendekatkan gerakan Revolusi Islam
kepada kemenangannya. Dikhawatirkan, rezim akan berhasil mengakhiri aksi
mogok tersebut dan dapat kembali bernafas dengan dimulainya ekspor
minyak. Jika hal itu terjadi maka semangat Revolusi Islam akan terkoyak.
Akan tetapi, para pegawai minyak di selatan bertahan dalam menghadapi
berbagai tekanan dan tetap melanjutkan aksi mereka.
Pada tanggal 27 Desember 1978, para
penguasa negara-negara Barat dan Amerika Serikat, menggelar sidang
singkat di Guadalupe, guna membahas kondisi di Iran, dan dalam
konferensi pers, media massa dunia dikejutkan dengan pengumuman bahwa
“Hari ini ekspor minyak Iran terputus total.”
Keluarnya Pihak Asing
Akhirnya seluruh wewenang dan manajemen fasilitas minyak Iran berada di tangan para pegawai Iran dan para pegawai asing untuk kedua kalinya bersiap-siap untuk meninggalkan Iran. Di kawasan yang dihuni oleh warga asing di Ahwaz, Abadan, dan seluruh kawasan di Iran, para analis Amerika dan Eropa dengan cepat mengemas seluruh perabotan mereka serta menjual kendaraan, rumah, dan vila-vila mereka agar segera hengkang dari Iran.
Akhirnya seluruh wewenang dan manajemen fasilitas minyak Iran berada di tangan para pegawai Iran dan para pegawai asing untuk kedua kalinya bersiap-siap untuk meninggalkan Iran. Di kawasan yang dihuni oleh warga asing di Ahwaz, Abadan, dan seluruh kawasan di Iran, para analis Amerika dan Eropa dengan cepat mengemas seluruh perabotan mereka serta menjual kendaraan, rumah, dan vila-vila mereka agar segera hengkang dari Iran.
Bandara Ahwaz yang sebelumya digunakan
untuk mempermudah ketibaan para analis asing, pada hari-hari itu sibuk
untuk melayani penerbangan secara silih berganti ke luar negeri dalam
rangka mempercepat proses pemulangan para warga asing.
Di pintu terakhir terakhir sebelum menuju
pesawat, seorang insinyur asal Amerika Serikat yang sedang berjalan
menuju pesawat berpaling ke arah seorang pegawai bandaran lokal berkata;
“Kita akan segera bertemu lagi kawan! Kami akan segera kembali!”
Pegawai bandara itu dengan cepat
menjawab: “Tidak untuk kali ini! Saya kita kalian tidak akan kembali
setelah ini!” (IRIB Indonesia/MZ)
http://indonesian.irib.ir/c/journal/view_article_content?groupId=10330&articleId=5111543&version=1.1
Iran Peringati HUT Nasionalisasi Industri Minyak
Iran | Acehtraffic.com – Republik Islam
Iran merayakan ulang tahun ke-61 nasionalisasi industri minyak negara
itu. Ulang tahun tersebut merupakan momen yang menandai titik balik
dalam sejarah modern Iran dan kemandiriannya.
Acara yang digelar setiap tahun, yaitu
pada tanggal 20 Maret, tidak hanya penting dalam sejarah kampanye
anti-kolonialis bangsa Iran, tetapi juga momen yang menentukan dalam
sejarah perkembangan politik di Timur Tengah.
Pada tanggal 20 Maret 1951, anggota
parlemen Iran meratifikasi RUU tentang nasionalisasi industri minyak
Iran. RUU ini dipaparkan ke parlemen oleh Perdana Menteri Mohammad
Mosaddeq dengan dukungan dari partai nasionalisnya dan kelompok agama
yang dipimpin oleh ulama terkemuka Ayatollah Sayid Abolqasem Mostafavi
Kashani.
Di bagian pertama RUU itu disebutkan
bahwa industri minyak Iran yang dinasionalisasi di seluruh wilayah Iran
tanpa pengecualian, menunjukkan bahwa eksplorasi seluruh minyak,
penggalian dan operasi pemanfaatannya berada di tangan pemerintah Iran.
Undang-undang itu mengakhiri empat dekade
kontrol Inggris terhadap minyak Iran, yang dilakukan oleh perusahaan
minyak “The Anglo-Persian”.
“Nasionalisasi minyak memiliki dampak
yang besar terhadap kemandirian Iran, kedaulatan nasional dan kebijakan
luar negeri,” kata Maral Darbandi, seorang analis politik Tehran kepada
Press TV (Senin, 19/3). Dia menambahkan, langkah tersebut mendapat
dukungan kuat dari para pengusaha, intelektual dan ulama di Iran.
Iran sebagai eksportir minyak mentah
utama adalah produsen minyak kedua di Organisasi Negara-negara
Pengekspor Minyak (OPEC).| AT | Irib |
Mungkinkah, Nasionalisasi Pertambangan & Migas?
Jakarta Dalam ayat 3 Bab XIV Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945, jelas dinyatakan bahwa segala hal seperti,
air, tanah, hasil Bumi Indonesia dikuasai oleh Negara untuk
Kesejahteraan Masyarakat.
Secara harfiah dalam Pasal tersebut,
utuh, menyeluruh bahwa segala hal sensitif, strategis bahkan pribadi
(Indonesia) alangkah bijak tetap dikuasai Negara. Termasuk Migas dan
Pertambangan didalamnya.
http://news.detik.com/read/2012/07/02/125635/1955600/471/mungkinkah-nasionalisasi-pertambangan-migas
Ribuan Pekerja Venezuela Serbu Ladang Minyak Milik Asing
Karakas (ANTARA News) – Ribuan pekerja
Venezuela menyerbu ladang-ladang minyak yang dioperasikan pihak asing di
negara itu, Selasa waktu setempat (Rabu WIB), untuk merayakan
nasionalisasi industri minyak terbesar kelima dunia itu, bertepatan
dengan Hari Buruh.
“Hari ini adalah berakhirnya era di mana
kekayaan alam kita tidak lagi dikuasai siapapun, tapi oleh rakyat
Venezuela,” kata Presiden Hugo Chavez, Selasa petang dalam pidatonya,
seperti dilansair DPA. “Nasionalisasi minyak Venezuela kini telah
menjadi kenyataan.”
Nasionalisasi, yang diumumkan Chavez
Februari lalu, dilakukan saat Venezuela Senin petang mengatakan pihaknya
akan keluar dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Chavez menyebut badan-badan pembangunan itu “alat imperialisme AS.”
Militer Venezuela dikirim ke
ladang-ladang minyak di Orinoco Basin, sementara para pekerja yang
mengenakan kaos oblong bertuliskan ” Setuju Nasionalisasi” kemudian
datang ke ladang-ladang minyak itu setelah Selasa tengah malam.
Orinoco Basin, yang memiliki areal
sepanjang 600 km dan lebar 70km , membentang di sepanjang Sungai Orinoco
di Venezuela timur dan diperkirakan memiliki cadangan minyak mentah
terbesar dunia. Venezuela mengatakan pihaknya bisa memperoleh cadangan
minyak 370 miliar barel, dibanding dengan cadangan minyak sekarang
sekitar 80 miliar barel.
Perusahaan-perusahaan asing yang
beroperasi di daerah itu terpaksa menyerahkan kekuasaan atas
ladang-ladang minyak itu kepada perusahaan Petroleos de Venezuela
(PDVSA) milik negara dan mendapat saham minoritas dalam apa yang disebut
usaha bersama . Perusahaan AS Exxon Mobil dan Chevron , perusahaan
Prancis Total , British Petroleum and Statoil dari Norwegia setuju,
sementara satu perjanjian masih disusun dengan perusahaan AS Conoco
Phillips.
Perusahaan-perusahaan minyak
inetrnasional itu merupakan bagian dari asosiasi-asosiasi strategis yang
melakukan investasi penting sejak tahun 1990-an untuk membangun
teknologi untuk mengubah minyak berat di Orinoco Basin menjadi lebih
ringan, kualitas lebih baik.
Asosiasi-asosiasi itu sekarang
memproduksi sekitar 600.000 barel per hari, dan sudah membayar 33,33
persen royalti dan 50 persen pajak pendapatan untuk setiap barel.
Sekitar 20 perusahaan asing menyetujui
tawaran usaha bersama pemeritnah itu dan tidak satupun memiliki saham
mayoritas. Lebih dari separuh ekspor minyak Venezuela adalah ke musuh
politik Chavez yaitu AS.
Ketika memulai masa jabatan keduanya
tahun ini, Chavez segera berusaha menasionalisasi industri-industri
minyak, gas dan telekomuniasi negara itu. Ia mendapat hak yang belum
pernah terjadi sebelumnya dengan dekrit, membangun satu mandat pemilihan
yang kuat untuk melaksanakan Sosialisme Abad ke-21 gayanya sendiri.
Venezuela memiliki kontak sedikit dangan
Bank Dunia dan IMF sejak Chavez pertama terpilih menjadi presiden tahun
1999 dan IMF sudah menutup kantornya di Karakas tahun lalu. Venezuela
mengumumkan awal April bahwa pihaknya telah membayar utang-utangnya
kepada dua lembaga itu.
IMF memiliki sejarah kadang-kadang baik
dan kadang-kadang buruk di Venezuela. Pemotongan anggaran belanja oleh
IMF pada pemerintah Venezuela tahun 1989 menimbulkan protes dan
kerusuhan yang yang secara keras ditindak oleh polisi dan angkatan
bersenjata, menewaskan 300 orang.
Chavez pada hari Senin mengancam akan
keluar dari Organisasi Negara-negara Amerika, karena blok Amerika raya
itu mempertimbangkan pengenaan sanksi terhadap Venezuela karena tidak
memperpanjang izin satu jaringan televisi independen yang mendukung
oposisi.
Rencana nasionalisasi minyak Venezuela
paralel dengan tindakan Bolivia tahun lalu untuk lebih memperketat
penguasaan atas sumber-sumber gas alamnya.
Pada 1 Mei tahun lalu, Presiden Bolivia
Evo Morales — sekutu dekat dan sahabat Chavez melakukan tindakan yang
mengejutkan , mengumumkan nasionalisasi cadangan gas alam negara itu di
Andean, terbesar kedua di Amerika Selatan setelah Venezuela.
Pemerintah Bolivia merundingkan kembali
kontrak-kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing, meningkatkan
pendapatan negara untuk membiayai program sosial yang dilaksanakan
Morales.
Sekutu lain Chavez, Presiden Ekuador
Rafael Correa, memperingatkan rencana-rencana negara kaya minyaknya akan
meninjau ulang semua kontrak untuk semua eksplorasi di wilayahnya dan
mungkin membatalkan beberapa perjanjian.
Pada Mei 2006, sebelum Correa menjadi
presiden, pemerintah di Quito membatalkan satu perjanjian dengan
poerusahan raksasa minyak AS Occidental menyangkut apa yang disebut
pelanggaran-pelanggaran kontrak. Tindakan itu mendorong penangguhan satu
perundingan mengenai perjanjan perdagangan bebas dengan AS. (*)
http://www.antaranews.com/berita/1178088506/ribuan-pekerja-venezuela-serbu-ladang-minyak-milik-asing
Berikut tulisan dari Ensiklopedi MS Encarta:
Saudi Arabia
The latter development, along with Saudi
Arabia’s 1974 takeover of controlling interest in the huge oil company
Aramco, greatly increased government revenue, thus providing funds for
another massive economic development plan.
The oil industry is the most important
sector of the Saudi economy. Saudi Arabia’s proven petroleum reserves
amount to one-fourth of the world total. The major oil fields are in the
eastern part of the country and offshore in the Persian Gulf. Because
the country has relatively small internal demand for oil, it exports
most of its production. It is the largest exporter of petroleum in the
world—in 2001 Saudi Arabia exported about 6.3 million barrels per
day—and has the power to influence world oil prices.
Commercial quantities of oil were
discovered in Saudi Arabia in 1938, but World War II (1939-1945) delayed
large-scale exports until the 1950s. Initial exploration and drilling
were carried out by the Arabian American Oil Company (Aramco), the
operating company of Standard Oil of California (Socal). Several other
U.S. oil companies acquired shares in Aramco in 1948. The Saudi
government bought a 25 percent share of the company in 1973, then took
complete control in 1980, after which the company was called Saudi
Aramco. Production rose steadily from about 1.3 million barrels per day
in 1960 to 3.8 million barrels per day in 1970. The increased production
coupled with rising oil prices, especially in 1973 and 1974, brought
huge revenues to the Saudi government. Another rapid increase in
revenues followed the Islamic Revolution of Iran (1978-1979), when Saudi
Arabia increased production to compensate for the drop in Iranian
production, and prices rose due to the uncertain market. Oil prices
declined along with world demand for oil during the worldwide economic
recession of the early 1980s. In 2002 Saudi Arabia produced 7.6 million
barrels of oil per day.
Saudi Arabia began producing natural gas
liquids in 1962. In 1982 the first phase of the so-called Master Gas
System was put in place. This system was built to capture the natural
gas that was released as a by-product of oil production and distribute
it to power petrochemical plants, steel factories, and other
manufacturing enterprises. By the late 1990s plans were put forward to
exploit the kingdom’s other gas fields. In June 2001 Saudi Arabia
awarded concessions for the projects to several foreign companies,
marking the return of foreign companies for the first time since 1975.
In 2002 Saudi Arabia produced 57 billion cu m (2 trillion cu ft) of
natural gas.
The state-owned Saudi Arabian Mining
Company controls Saudi Arabia’s significant nonpetrochemical mineral
resources. These other mineral products include limestone, gypsum,
marble, clay, and salt. In addition, smaller mining operations extract
gold, silver, bauxite, copper, zinc, and iron ore
VENEZUELA
Petroleum, located in the Maracaibo Basin
and in the eastern part of the country, dominates the Venezuelan
economy. Crude and refined oil are the main source of government revenue
and account for about one-third of the GDP. In 2002 Venezuela produced
almost 1 billion barrels. Much of its oil is exported to the Netherlands
Antilles for refining. Venezuela is a founding member of the
Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC).
The Venezuelan government nationalized
the petroleum industry in 1976, although private investment and foreign
participation has been permitted since 1992. In 2003 the country had
petroleum reserves estimated at 78 billion barrels.
Nationalization
nationalization, acquisition and
operation by a country of business enterprises formerly owned and
operated by private individuals or corporations. State or local
authorities have traditionally taken private property for such public
purposes as the construction of roads, dams, or public buildings. Known
as the right of eminent domain, this process is usually accompanied by
the payment of compensation. By contrast, the concept of nationalization
is a 20th cent. development that differs from eminent domain in motive
and degree; it is done for the purpose of social and economic equality
and is usually, although not always, applied as a principle of
communistic or socialistic theories of society. The Communist states of
Eastern Europe nationalized all industry and agriculture in the period
following World War II. Under the Labour government of the period 1945
to 1951, Great Britain nationalized a number of important industries,
including coal, steel, and transportation. In non-Communist countries it
has been common practice to compensate the owners of nationalized
properties, at least in part; however, in the Communist countries, where
private ownership is opposed in principle, there usually has not been
such compensation. Nationalization of foreign properties has occurred,
especially in developing nations, where there is resentment of foreign
control of major industries. Instances include Mexico’s seizure of oil
properties owned by U.S. corporations (1938), Iran’s nationalization of
the Anglo-Iranian Oil Company (1951), the nationalization of the Suez
Canal Company (1956) by Egypt, and Chile’s nationalization of its
foreign-owned copper-mining industry (1971). Such expropriations raise
complex problems of international law. In some cases disputes over
nationalization are settled by adjudication, with the expropriated
parties obtaining compensation for their former properties, if only in
part. In other instances, where no compensation is offered, severe
strain in international relations may arise. The International Court of
Justice ruled (1952) in the Anglo-Iranian Oil Company dispute that a
concession made by a state to a foreign corporation is not an
international agreement and is subject to the law of the conceding
state—meaning that investors must assume the risk of nationalization in
the country in which they invest, and developing nations have held that
nationalization is a right implied by the UN Charter.
http://www.infoplease.com/ce6/history/A0834953.htmlhttp://en.wikipedia.org/wiki/Nationalization
Source : http://infoindonesia.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar